Selasa, 29 April 2008

Pungli di Penjara Masih Marak

Senin , 28 April 2008 , 00:49:05 wib

Kisdiantoro/Sonny Budhi/Deddi Rustandi/Firman Suryaman/ Setya Krisna S

BANDUNG, TRIBUN - Praktik korupsi dan pungutan liar yang melibatkan penghuni sejumlah penjara di Jawa Barat masih marak. Kegiatan ilegal itu berjalan sistematis, dan kecil kemungkinan tak diketahui para pengelola penjara.

Penelusuran tim wartawan Tribun selama hampir sebulan terakhir menunjukkan aktivitas itu tak berkurang meskipun Departemen Hukum & HAM sejak 14 Februari 2008 mencanangkan bulan tertib pemasyarakatan (Buterpas).

Puncak kegiatan dihelat dalam Hari Bakti Pemasyarakatan yang dipusatkan di LP Cipinang, Jakarta Timur, Minggu (27/4). Dalam kegiatan ini terangkum usaha perbaikan integritas dan moral petugas penjara sekaligus peningkatan pembinaan tahanan/narapidana.

Program konkret yang dilakukan antara lain menaikkan biaya perawatan dan biaya hidup bagi narapidana/tahanan, memberikan berbagai tunjangan kepada petugas pemasyarakatan, memberantas peredaran narkoba, pungutan liar, penertiban warung warung liar, peningkatan pelayanan, pemberantasan penggunaan telepon seluler, dan peningkatan kegiatan kerja bagi para warga binaan.

Jatah makan napi/tahanan juga diperbaiki menjadi Rp 8.000 sampai Rp 8.500 per hari. Biaya itu untuk makan tiga kali sehari, di luar biaya beras.
"Saya perintahkan kepada semua kalapas dan karutan, jangan ada lagi kegiatan masak-memasak di blok hunian. Apalagi pungutan bagi narapidana dan tahanan," pesan Menkum & HAM Andi Matalatta saat membuka kegiatan ini di LP Salemba.

Pengakuan Napi
Masih maraknya praktik pungli ini terungkap dari pengakuan narapidana di sejumlah penjara di Jabar, orang tua dan kerabat tahanan/narapidana, dan juga mantan-mantan narapidana.
Seorang residivis yang pekan lalu meringkuk di tahanan polisi melukiskannya secara dramatis. "Ada aturan tersendiri atau semacam aturan adat. Jadi, semacam negara dalam negara," kata maling yang meringkuk di salah satu kantor polisi di Polwil Priangan ini.

"Kalau nggak punya uang sama sekali, lebih baik jangan menjenguk, kasihan yang di dalam lapas. Pasti akan dikerjai," imbuh lelaki muda yang sudah berkali-kali mendekam di LP Sumedang ini.
Seorang napi di LP Kebonwaru lebih sadis lagi menceritakan kondisi di dalam. "Bapak sengaja meminta keluarga untuk tidak menjenguk karena di sini banyak punglinya," kata Aswatama, sebut saja namanya begitu, kepada Tribun, yang menemuinya di dalam penjara beberapa pekan lalu.

Menurut Aswatama, kehidupan di penjara Kebonwaru sungguh tak ada bedanya dengan di luar. Semuanya tak ada yang gratis. "Banyak sekali pungutan. Listrik saja kita harus bayar Rp 40.000. Terus, tidur juga bayar. Kalau tidur di bawah harus bayar Rp 40.000, tidur di lapak (ranjang) bayar Rp 60.000," katanya.
"Kalau mau all in one, maksudnya nggak lagi mikir macam macam, tidur, listrik, dan makan enak, tiap bulan harus bayar Rp 200.000. Jadi, di penjara itu sama saja seperti kita kos di luar," tandasnya tanpa ragu.

Ketika ditanya soal pungutan dan setoran itu untuk siapa, Aswatama mengaku uang itu dibayarkan ke para penguasa di penjara, yaitu para tahanan yang dituakan untuk menjadi ketua RT atau ketua RW. Ia meyakinkan istilahnya memang begitu.
Ada juga istilah lain tahanan pendamping (tanping atau tamping). Mereka napi pilihan yang terseleksi, dipercaya pengelola penjara, disegani kawan-kawannya di blok atau sel. Inilah titik terpenting mata rantai panjang praktik tercela korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mekar di balik tembok penjara.

Masih soal aneka pungutan dan setoran, lalu di mana posisi sipir? "Sama saja," jawab Aswatama , yang tanpa takut terus mengurai soal lain. Jam berkunjung pun ternyata tak gratis. Biasanya pembesuk akan diberi waktu 30 menit dalam satu sesi.
Lima belas menit pertama mesti bayar ke sipir Rp 5.000. Kalau ingin memperpanjang masa kunjungan, pembesuk mesti merogoh lagi Rp 5.000. Begitu seterusnya. Apa betul di dalam bisa bisnis dan bertelepon?
Aswatama meringis. Dia sendiri mengaku ikut merasakan untungnya dengan berjualan voucher pulsa telepon seluler. Hasilnya bisa dia sisihkan buat tambahan makan dan keperluan lain di dalam.

"Telepon seluler sebenarnya tak boleh bawa. Tapi di sini ada pasar gelap. Kadang petugas melakukan razia, tapi kemudian dijual lagi kepada mereka (tahanan)," kata napi yang terjerat kasus narkoba ini.
Maraknya telepon seluler di penjara benar-benar dibuktikan Tribun ketika menyertai Topan, sebut saja begitu, warga Bandung yang membesuk anaknya beberapa pekan lalu.

Di depan pintu gerbang LP Kebonwaru, Topan memencet-mencet tombol telepon selulernya. "Bapak sudah di depan nih, mau besuk," kata Topan lewat telepon kepada anaknya sejurus kemudian.
Wartawan Tribun juga pernah menghubungi tokoh terkenal yang mendekam di LP Sukamiskin dalam kasus korupsi. Laiknya lewat jalan tol, telepon langsung diterima yang bersangkutan.

Bantah Keras
Kepala Kanwil Hukum & HAM Jabar Drs M Amar Cho SH MSi membantah keras di wilayah kerjanya ada praktik-praktik liar seperti ini. Apalagi informasi terkait bisnis sel dan jatah tidur di sel untuk para napi.
"Kalau tak punya uang, mau tidur di mana? Kalau di Jabar saya kira tidak ada. Kalau itu ada, marah betul saya. Tidak ada, nggak boleh," kata Amar Cho, yang baru lebih kurang sebulan terakhir bertugas di Bandung.

Di dalam penjara, menurut mantan Kepala Kanwil Hukum & HAM Kepulauan Riau ini, tak ada organisasi, dan penghuni tak boleh membentuk RT atau RW. "Nggak boleh mereka (tahanan) bikin kelompok-kelompok," tambahnya.
Praktik ilegal seperti diilustrasikan beberapa napi di atas nyaris terjadi di semua penjara, tak hanya di Jabar. Perbedaan hanya terletak pada kualitas dan intensitas. Hal ini diakui Menkum & HAM Andi Matalatta di sejumlah kesempatan, termasuk saat pencanangan Buterpas 1,5 bulan lalu.

Seorang mantan napi LP Tasikmalaya mengaku pungli di penjara ini tak begitu semarak. Kalaupun ada pemberian ke petugas penjara, biasanya pembesuk memberikan semacam uang rokok. Besarnya juga berkisar Rp 2.000 hingga Rp 3.000.
Kemudian, setelah pembesuk bertemu dengan keluarganya yang menjalani hukuman, biasanya akan merogok kocek lagi agar bisa menambah waktu kunjungan. Besarnya juga berkisar Rp 2.000 hingga Rp 3.000.

"Dalam rangka tertib pemasyarakatan ini kami pun bertekad memberantas segala bentuk pungli. Itu pun kalau memang ada. Tapi selama ini di lingkungan kami tidak ada praktik seperti itu," kata Kasubdin Registrasi Bimpas LP Tasikmalaya, Cepi, ketika ditemui di kantornya dua pekan lalu.
Di LP Kelas I Sukamiskin, telepon seluler dan barang elektronik lain bisa leluasa masuk sel. Mawar, yang anaknya sudah dua tahun terakhir menjalani hukuman, mengaku hampir tiap malam ia berkomunikasi dengan anaknya melalui ponsel.

"Dia atau saya yang telepon, dan ini sudah lama dilakukan," ujar Mawar ketika ditemui hendak membesuk anaknya akhir pekan lalu. Telepon itu mulanya ia selundupkan ke penjara. "Ponsel tersebut saya selipkan di ketiak," imbuhnya.
Menurut pengakuan anaknya, ponsel itu memang dipakai bebas. Bahkan kalau ada pemeriksaan, petugas selalu menginformasikan sebelum razia dimulai.
"Ponsel diberikan ke oknum sipir dengan memberikan imbalan tertentu," ucap Mawar menirukan cerita anaknya. Tak hanya ponsel, televisi pun juga bisa masuk, dengan sejumlah setoran tentu saja.(dia/sob/stf/std/xna)
dari : tribunjabar.co.id

Tidak ada komentar: