Rabu, 30 April 2008

Banjir dan Korupsi


Pada 17 Oktober 2005, ada seminar menarik di North South Institute, Ottawa, Kanada. Salah satu pembicaranya adalah Peter Egens Pedersen, Auditor Umum dari Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia). Ia membawakan topik "The Impact of Corruption in Asia on Poverty Reduction and Achievement of the Millennium Development Goals" (Dampak Korupsi di Asia terhadap Pengurangan Kemiskinan dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Abad Milenium).

Korupsi adalah bentuk pemajakan yang tidak sepantasnya atau penambahan beban terhadap kaum papa. Pedersen mengatakan pengalaman menunjukkan bahwa korupsi merusak perekonomian, melemahkan hokum dan merusak kepercayaan publik pada pemerintahan.
Pedersen melanjutkan, korupsi tidak hanya menaikkan biaya-biaya pembangunan (biaya proyek, biaya pelayanan) tetapi juga berkaitan dengan kualitas. Misalnya, bangunan-bangunan mudah rubuh saat bencana alam terjadi. Jika diperpanjang, korupsi telah membuat dana-dana untuk proyek pemeliharaan lingkungan tergerogoti juga.
Dalam tiga pekan terakhir di bulan Januari, kita menyaksikan banjir yang memilukan hati. Tempat tinggal terendam, jalanan terputus, pekerjaan terganggu, dan penyakit umum di di musim banjir juga muncul.
Lebih parah lagi, karena musim hujan dengan yang di atas rata-rata, lahan-lahan yang rawan tak tahan lagi menahan resapan dan longsor pun terjadi. Sebagian dari rekan kita setanah air telah binasa di dalam tidur yang lelap di tengah malam akibat tertanam hidup-hidup. Jika kita berada di dekat mereka yang menjadi korban, barangkali akan semakin trenyuh melihatnya.
Kerugian pun jelas bermunculan, materi ataupun moril. Tidak diketahui persis total kerugian materil. Yang jelas, ada petani yang terpaksa memanen padi yang belum waktunya. Beban akibat banjir semakin menambah kesulitan yang sudah dirasakan rakyat kalangan bawah sejak krisis ekonomi, hingga kenaikan BBM tahun lalu.
Di negara maju, para korban bencana relatif tertolong dengan dana sosial pemerintah (welfare budget). Sebagian tertolong dengan polis asuransi. Juga tertolong dengan bantuan donator yang berbelas kasihan.
Namun untuk Indonesia, fasilitas seperti itu bagai panggang yang jauh dari api. Paling-paling yang ada hanya bantuan sporadis dan spontan masyarakat dan dana-dana pemerintah, yang diduga kuat tidak akan memadai. Namun demikian, uluran ala kadarnya itu cukup menyejukkan bagi para korban bahwa ada yang peduli pada mereka.
Melihat keadaan seperti itu, rasanya yang ada hanya kebuntuan. Apakah kita hanya bisa berpangku tangan? Sesuatu harus dilakukan jika ke depan hal serupa tidak ingin terulang lagi. Minimal dampak negatif kerugian bisa dikurangi jika terjadi lagi banjir serupa di kemudian hari.
Pasalnya, selain karena curah hujan lebih tinggi dari rata-rata normal, penggundulan hutan, drainase yang minim atau bahkan tidak ada, telah pula berperan membuat rakyat menjadi rawan dengan banjir dan jenis bencana lainnya. Inilah yang umum terjadi di Negara berkembang selama ini, mulai dari India, Indonesia Filipina hingga Benua Afrika. Yang ada kepasrahan dan kebuntuan.
Ke depan, ada banyak jalan yang bisa ditempuh. Salah satunya adalah dengan mengaitkan dampak-dampak korupsi selama ini pada kerusakan lingkungan hidup. Di mana hasil program reboisasi yang dulu dicanangkan pemerintah? Di mana dampak dari bantuan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, yang selama ini lebih banyak dikaitkan dengan pembiayaan proyek-proyek, termasuk pemeliharaan lingkungan, proyek pencegahan erosi dan lainnya?
Adakah kita melihat proyek spektakuler di bidang itu. Yang ada adalah, masuknya Indonesia ke dalam daftar Negara yang paling korup, berdasarkan lembaga Transparency International?
Jika pemerintah tak kunjung menelaah dampak korupsi seperti itu, maka akhirnya, kita hanya akan dihadapkan pada kebuntuan saat kita mengalami bencana alam seperti banjir. Sayangnya, dampak buruk yang lebih besar selalu lebih dirasakan kaum papa yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia. (AM)

dari : caninews.com

Tidak ada komentar: