Setya Krisna Sumargo
JUDUL artikel ini dipilih dalam konteks alam pikiran normal, jernih, logis, masuk akal, dan cara berpikir sehat. Kritik ini merujuk pernyataan Ahmad Fauzi, anggota DPR RI dari Partai Demokrat, Jumat (25/4) yang ingin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibubarkan.
Dalam daftar calon legislatif terpilih KPU 2004, politikus asal daerah pemilihan (Dapil) Jawa Timur VI ditulis lengkap dengan titel haji plus tiga gelar akademiknya. Dr Haji Achmad Fauzie SH MM. Dapil Jatim VI meliputi wilayah Kota/Kab Kediri, Blitar, dan Tulungagung.
Seperti dikutip banyak media, Ahmad Fauzi mengomentari rencana KPK menggeledah ruang kerja sejumlah anggota DPR RI terkait kasus suap dengan tersangka Al Amin Nur Nasution (Komisi IV DPR RI F-PPP/Dapil Bengkulu). Rencana ini sudah ditolak pimpinan DPR.
"Kita melihat KPK terlalu superbody. Beberapa teman sudah berkomunikasi untuk mengusulkan revisi UU 20/2002 tentang KPK. Kalau perlu KPK dibubarkan," kata kader Partai Demokrat, parpol yang dibidani Susilo Bambang Yudhoyono ini.
Begitu membaca respon salah satu anggota parlemen ini terbayang di benak saya sikap jumawa sekaligus ekspresi kedangkalan pemahaman yang bersangkutan terhadap hukum dan ketentuan perundang-undangan.
Pernyataan itu juga mencerminkan arogansi kekuasaan anggota parlemen, yang tidak ada satu rumus pun menyebutkan para wakil rakyat ini kebal hukum.
Hukum berlaku sama di depan siapa saja, kecuali di negara yang dipimpin tiran atau pemimpin yang gemar memainkan kekuasaan.
Menyedihkan memang, ketika masyarakat mengharapkan perubahan, perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara, masih saja ada orang-orang yang berpikiran sempit seperti ini. Lebih menyedihkan lagi, dia kader parpol yang dilahirkan SBY, figur yang sejak awal menyodorkan isu perubahan.
KPK sebagaimana diketahui secara luas, lahir sebagai terobosan mengatasi kebuntuan para penegak hukum dalam mencegah dan mengatasi tindak pidana korupsi.
Karena sifatnya terobosan, filosofi lembaganya pun harus dibuat dengan kewenangan super guna menghadapi korupsi sebagai extra ordinary crime (kejahatan di luar batas).
Oleh karena itu legitimasi hukum KPK pun dibuat sangat kuat dengan undang-undang (UU). Di hirarki perundang-undangan, produk hukum UU, dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) ada di posisi ketiga setelah UUD 45 dan Tap MPR.
Ketika UU itu telah disahkan dan efektif berlaku, maka segala konsekuensinya harus ditaati semua warga negara Indonesia, tak terkecuali anggota parlemen. Dalam konteks inilah gagasan pembubaran KPK ala anggota DPR RI itu terasa betul konyolnya.
Politikus yang punya jalan pikiran anti-perubahan seperti di atas biasanya pantas mendapatkan hukuman politik dan moral. Pemilu legislatif 2009 menjadi sebuah opsi orang-orang yang tak ingin bangsa dan negaranya maju, mesti minggir atau dipinggirkan paksa. (*)
dari : tribunjabar.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar