Selasa, 29 April 2008

Acah, Anggota Dewan, dan Rasa Bersalah Itu

Rabu , 23 April 2008 , 00:30:47 wib

Kander Turnip

KEMATIAN memang rahasia Tuhan. Dan tidak ada seorang pun manusia yang mengetahui kapan waktu persisnya hingga maut itu menjemput ajal.

Namun Acah Karsah (40) mengetahui persis kapan ia akan mati. Bahkan warga Lingkungan Regol, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang itu mempersiapkan secara khusus "surat wasiat" yang menjelaskan alasan ia memilih mati pada Rabu (16/4) pagi itu.


Melalui surat yang ditulis tangan menggunakan bahasa Sunda dalam dua lembar sobekan buku tulis yang mungkin milik anaknya itu, Acah pamitan kepada istrinya, kedua anaknya, dan menitipkan mereka untuk tinggal bersama orang tuanya.


Coba simak salah satu kutipan kalimat Acah yang juga dimuat di harian ini Kamis (17/4). "Nyi hampura nya. Aa bebeja bari jeung balik, sing sabar sing tawakal (Nyi, maafkan saya. Saya memberitahukan sambil 'pulang'. Bersabarlah dan tawakal)".


"Pangapingkeun budak urang duanana di jalan anu bener. Hampura teu bisa mere kasenangan. Keur Izal sing jadi conto nu bener ka adi, patuh, nyaah ka mamah jeung ka Irwan (Tolong bimbing kedua anak kita di jalan yang benar. Maafkan saya tidak bisa memberi kebahagiaan. Untuk Izal, jadilah teladan bagi adikmu. Patuh dan sayang pada mama dan Irwan)," tulisnya lagi.


Ya, Acah yang sehari-hari bekerja sebagai petugas perlindungan masyarakat (linmas) dan pada pemilihan gubernur Jabar serta pemilihan bupati Sumedang lalu ia bertugas menjaga tempat pemungutan suara (TPS) itu memilih gantung diri di kamar rumahnya menggunakan selang untuk menghabisi nyawanya.


Saya tidak bermaksud mengorek-korek kembali kejadian yang mungkin menjadi aib bagi keluarga Acah itu. Dengan tulisan ini, saya pun tidak ingin menyatakan setuju dengan tindakan Acah. Sebaliknya, saya menyayangkan tindakan nekat Acah yang juga sebagai Bendahara Kelompok Usaha Bersama (Kube) Surya Medal itu. Toh, sebenarnya selalu ada jalan keluar bagi setiap masalah yang kita hadapi karena, sejatinya, cobaan-cobaan yang kita hadapi adalah cobaan biasa yang tidak melebihi kekuatan manusia.


Dalam "surat wasiat" itu Acah dengan jelas menyatakan salah satu latar belakang kenekatannya, yaitu rasa bersalah yang terus-menerus setelah mendapat uang "pembagian" Rp 250 ribu dari ketua Kube Surya Medal.


Nilainya mungkin kecil buat sebagian besar kita. Namun bagi Acah nilai itu cukup besar sehingga ia harus bertanya kepada ketua Kube Surya Medal, untuk apa uang itu. Apalagi uang itu diberikan setelah kelompok usaha ini mendapat dana dari APBN 2007 melalui Dinas Sosial untuk pemberdayaan masyarakat. Kelompok ini kemudian membuka usaha penyewaan alat pesta dan belum lama ini membeli tenda.


"Aa teu tenang (Saya tidak tenang) setelah membeli tenda diberi uang oleh ketua Rp 250 ribu dan katanya tak apa-apa," tulis Acah dalam "surat wasiat" itu. Karena tidak mendapat jawaban memuaskan dan dihantui rasa bersalah itulah, Acah kemudian mengakhiri hidupnya.


Tidak banyak orang seperti Acah, yang tidak tenang memegang uang yang menurutnya bukan haknya, apalagi uang itu sudah habis untuk membiayai hidup dan keluarganya. Orang zaman sekarang ini, sebut saja anggota dewan (DPR) atau jaksa yang diciduk karena dituduh menerima suap, walaupun sudah tertangkap basah oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih mencoba menghindar dan merasa tak bersalah.


Merasa bersalah adalah anugerah dari Tuhan. Jika tidak merasa bersalah, tentu tidak ada pertobatan. Dan jika tidak ada pertobatan, tentu juga tidak ada kesempatan menuju surga yang kekal. Lantas, kalau begitu, untuk apa sebenarnya kita hidup di muka bumi ini? (*)

dari : tribunjabar.co.id

Tidak ada komentar: