Rabu, 30 April 2008

Di Mana Para Pembobol BLBI Kelas Kakap itu?


Tebang pilih, adalah istilah kehutanan yang merujuk pada penebangan pohon yang sudah layak ditebang, alias jangan menebang pohon yang masih muda. Atau istilahnya, jangan menebang semua pohon yang ada di hutan. Dampaknya adalah kerusakan lingkungan dan kesinambungan alam yang akan terganggu.

Istilah itu kembali mencuat karena diangkat oleh Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hamzah Haz pada peringatan 33 tahun kelahiran PPP di Jakarta, Minggu (5/2).

Hamzah Haz mengatakan, ada kesan pemberantasan korupsi yang terjadi sekarang ini melulu lebih mengarah pada pejabat pemerintahan daerah, anggota legislatif.

Presiden Susilo Bambang Yudoyono membantah hal itu. Menurut Presiden SBY, program pemberantasan korupsi sudah berlangsung sejak 2003 dan sama sekali tidak melakukan pemberantasan korupsi yang tebang pilih.

Lalu, sejumlah pejabat, anggota legislatif kini sudah ada di rumah tahanan. Sebagian besar telah menginap di Markas Besar Kepolisian RI. Mereka didakwa atas tuduhan manipulasi, penggelapan dan korupsi serta segala macam yang terkait.

Apresiasi nampaknya perlu diberikan kepada pemerintahan sekarang, yang tergolong paling terlihat dalam aksinya memberantas korupsi, sejak kejatuhan mantan Presiden Suharto.

Namun kesan tebang pilih yang dicuatkan oleh Hamzah Haz tidak terhindarkan. Barangkali pemerintah punya argumentasi yang mengatakan bahwa tidak ada sistem tebang pilih. Namun demikian, sebenarnya layak dipertanyakan, apa kriteria dan metode pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah.

Menangkap yang lebih lemah? Menangkap koruptor kelas teri? Atau menangkap koruptor kelas kakap, atau apa?

Jangan pernah kita lupakan, bahwa Bank Indonesia pernah meluncurkan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di masa krisis ekonomi pada akhir decade 1990-an. Setidaknya, ada 660 triliun dana BLBI yang dikucurkan untuk menalangi simpanan nasabah yang tidak terbayarkan oleh bank tempat mereka menyimpan.

Lalu kepada pemilik bank itu, diminta menyerahkan jaminan berupa asset-aset yang mereka miliki. Maklum, di zaman itu, banyak bank yang menarik dana nasabah, lalu dikucurkan ke perusahaaan milik sendiri. Lalu ketika terjadi rush, perbankan itu tidak bisa membayari kembali dana nasabah.

Ada Grup Salim dengan BCA-nya, ada Grup Sinar Mas dengan BII-nya dan ada kelompok lainnya yang jumlahnya cukup banyak.

Perusahaan itu berada di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang bertugas menyehatkan perbankan. Tugasnya juga adalah mengelola sembari menjual asset-aset yang diserahkan ke negara via BPPN, untuk menalangi BLBI yang diterima bank.

Namun apa yang terjadi? Dana-dana BLBI yang berhasil ditarik kembali oleh BPPN hanya sekitar 10 persen, yang disebut sebagai recovery asset. Lalu kemana yang 90 persen lainnya?

Ironisnya lagi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah meluncurkan penelitian soal BLBI yang memperlihatkan ada penyalahgunaan dan penyelewengan BLBI. Ada dana yang masuk ke kantong pemilik bank, dan bukan ke nasabah.

Kemudian ironisnya lagi, ada di antara mereka yang berhasil lari dan tinggal ke luar negeri. Atau juga ada yang tetap bisa tinggal tenang di dalam negeri. Keuangan Negara yang cekak, kini membuat banyak subsidi terpaksa dicabut, seperti subsidi BBM dan sebentar lagi mungkin pencabutan subsidi tariff dasar listrik (TDL).

Muncul pertanyaan, soal asas keadilan?

Ratusan triliun dana yang mereka tilep, bukan uang sedikit bagi negara dan rakyat yang telah turut menderita.

Jika kita melihat para tersangka koruptor yang ada sekarang ini, paling-paling mereka hanyalah kategori kelas kakap yang menggelapkan dana di bawah angka trilunan. Bahkan ada yang Cuma menggelapkan dana puluhan miliar.

Lalu, salahkah jika ada anggapan soal tebang pilih itu. Rasanya tidak salah, walau mungkin juga tidak 100 persen benar.

dari : caninews.com

Empat dari Lima Jaksa 'Cacat'



Empat dari lima jaksa di Indonesia rawan terhadap korupsi. Artinya, hanya sedikit jaksa yang jujur, bersih, bebas dari noda korupsi. Para jaksa menerima suap dari tersangka, yang menjadi objek pada penyelidikan. Ini adalah informasi yang sudah diketahui umum, namun diungkapkan kembali oleh Jaksa Agung baru Hendarman Supandji, sebagaimana diberitakan di mingguan Tempo, Senin (14/5).
Ia mengakui, ada persoalan di kantor kejaksaan karena masalah kejujuran dan integritas para jaksa. Dengan demikian, kita tidak heran jika banyak kasus korupsi tidak tertuntaskan. Ibaratnya, sampah dibersihkan dengan sapu kotor, ya tidak akan pernah bersih.

Supanji berjanji akan melakukan pembersihan dan juga memberi hukuman pada jaksa yang 'kotor'.

Supanji pun bersiap-siap untuk mengusut para pencoleng kekayaan Negara, terutama para pengusaha yang melarikan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ia pun segera mengejar ekstradisi atas 15 eksekutif dari Singapura terkait penyalahgunaan BLBI karena mereka kini berlindung di Singapura.

Masih dalam keterangannya kepada pers di kantor presiden di Jakarta, Senin (14/5), Supanji juga mencanangkan pengusutan kasus kematian Munir dengan prinsip "condition sine qua non" (keadaan yang tidak boleh tidak) alias harus ditelusuri sampai tuntas. Ia pun sudah mempersiapkan peninjauan kembali kasus kematian Munir.
Ini adalah bagian dari program kerja Supanji, yang baru saja diangkat menjadi Jaksa Agung. Namun untuk mendukung hal itu, semua lembaga, elite harus memberikan dukungan moral pada Supanji.

Hal ini perlu mengingat pengusutan kejahatan seringkali mendapatkan perlawanan dari kaum elite, aparat dan, otoritas Indonesia sendiri. Membiarkan Supandji seperti pahlawan kesiangan, atau berjuang adalah sebuah kesalahan fatal dan jelas akan mustahil membuatnya bisa menuntaskan tugas penting.

dari : caninews.com

Senyum Tommy adalah Tangis Soimah



Senyummu Adalah Tangisku. Itu hanyalah sebuah judul film awal dekade 1980-an. Namun bagi Soimah judul film itu menjelma menjadi kisah nyata. Soimah adalah istri dari almarhum Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita. Hakim ini, yang semoga arwahnya tenang di surga itu, tewas terbunuh dan Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) adalah tersangkanya. Karena kematian Hakim itulah, Tomy dipenjarakan namun kini sudah bebas, sekitar 3 tahun lebih cepat dari total masa hukumannya.
Saat meninggalkan penjara, Tommy terlihat senyum sembari mencoba mengelak dari kejaran pers. Namun bagi Nyonya Soimah, hal itu tak lebih dari sebuah rasa sakit hati. Ia pun mengatakan jatuh sakit dengan pembebasan Tommy itu.

Namun Soimah mengatakan tidak menggugat balik, karena tidak mau ikut campur soal hukum, yang dia pertanyakan keadilannya. Ia hanya pasrah dan membiarkan masyarakat menilainya.

Tak apalah dan itu adalah hak Nyona Soimah. Tak perlu baginya untuk menjadi Suciwati, yang gencar mencari kebenaran kematian suaminya Munir. Meski demikian, kalimat-kalimat Nyonya Soimah sudah memberi pesan kuat. Bahkan terlalu kuat untuk diabaikan oleh para penegak hukum.

"Lihatlah bagaimana perasaan kami, jangan melihat Tommy, yang memang hebat segalanya. Tolong pedulikan perasaan kami yang ditinggalkan orang yang kami cintai," kata Soimah, tentang almarhum suaminya.

Ia pun mempertanyakan, apakah benar pembebasan Tommy itu tidak ada udang di balik batu. "Keluarga yang melihat saudara yang di penjara pun harus bayar uang," demikian analogi yang dia ajukan.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin mengatakan, tidak ada penyimpangan dalam pembebasan Tommy.

Mungkin bukan hanya Nyonya Soimah yang gundah. Seandainya Tommy bisa bebas, bagaimana pula dengan mereka yang sekadar mencopet, main kartu, menjual togel, menjajakan narkoba dan kini banyak menghuni penjara. Apakah tidak ada di antara mereka yang berbuat baik selama di penjara? Sudahkah perilaku mereka diteliti dengan tujuan pengurangan masa tahanan. Tidak sedikit dari mereka yang hanya sekadar mengisi perut namun kepergok oleh aparat.
Demikian halnya, terdakwa lain yang kini sedang berada di penjara. Apakah nurani mereka tak terusik dengan pembebasan itu, artinya, hak mereka untuk diteliti, setidaknya soal kebaikan perilaku mereka, sehingga layak mendapatkan pembebasan?

Siapa yang bisa menemukan jawaban atas pertanyaan itu? Tapi masihkah kita perlu heran? Berdasarkan data Transparency International, Indonesia adalah negara dalam kelompok paling korup di dunia. Namun tak banyak koruptor yang dipenjara. Banyak makna dari fenomena itu, setidaknya ada satu yang jelas, yang penegakan hukum yang belum mencuat. Nampaknya, warga RI masih harus menahan sesak di dada, soal penegakan hukum.

dari : caninews.com

Apakah RI Mengidap Dirty Politics?



Tidak ada yang lebih menjijikkan dari mereka yang mengambil keuntungan atas ketidaktahuan masyarakat. Mereka itu sama bahanya dengan kelompok kriminal yang membunuhi warga. Jangan anggap sepele persoalan ini. Banyak orang yang tewas di tangan orang lain yang harus kekayaan, kekuasaan dan dilanda kerakusan.
Itulah bagian dari politik kotor yang terjadi di banyak negara. Politik kotor yakni sebutan bagi politik, yang antara lain tidak mengutamakan aturan main yang bersih, jujur dan berintegritas. Ulasan mengenai itu sudah banyak diulas para pakar. Di antaranya adalah Kathleen Hall Jamieson, Profesor Komunikasi dan Direktur Annenberg Public Policy Center di University of Pennsylvania. Kathleen menulis buku berjudul “Dirty Politics: Deception, Distraction, and Democracy”.

Apakah Indonesia mengidap politik kotor juga? Tidak ada yang menyinggung hal itu. Lorraine Aragon, Profesor Antropologi dari University of North Carolina menuliskan artikel berjudul “Profiting from Displacement” dengan topik bahasan adalah kasus kerusuhan Poso. Ia menuliskan, banyak pihak yang justru diuntungkan dari kerusuhan itu, antara lain dari pengadaan dana untuk pembangunan rumah, dan dana-dana negara untuk program rekonsiliasi di Poso.

Namun hal itu telah dibantah langsung oleh Kapolri Sutanto bahwa konflik Poso bukanlah sekadar proyek bagi aparat.

Praktik dari politik kotor juga bisa menyangkut banyak hal, seperti sebuah tindakan yang menutup-nutupi fakta atas sebuah kejahatan, yang seharusnya mendapatkan hukuman namun kenyataannya didiamkan atau bahkan mendapatkan kebebasan.
Politik kotor juga banyak terjadi dalam pemilihan umum, yang korbannya adalah para pemilih.

Beranikah kita mengatakan Indonesia terbebas dari politik kotor, dengan melihat banyaknya kejanggalan-kejanggal di bidang penegakan hukum, keamanan, kriminal ekonomi dan berbagai aspek?

Jika Indonesia tidak mengidap politik kotor, tentu suatu hal bagus. Namun sebelum menyimpulkan hal itu, sebaiknya para pemikir negara ini melakukan penelitian soal ada tidaknya eksistensi politik kotor itu. Jika itu eksis, sangat bahaya bagi masa depan bangsa, dan tentu bagi anak cucu kita di kemudian hari.

dari : caninews.com

Peraturan Ketenagakerjaan jadi Sorotan


Meski gemuruhnya sudah tak mereda, namun masalah ketenagakerjaan di Indonesia masih dinilai paling bruruk di dunia. Ironisnya, para pekerja berpendapat, persoalan mereka tidak pernah beres dan selalu mengeluhkan gaji yang dianggap tak seimbang. Salah satu keluhannya adalah tingkat upah minimum yang hanya sekadar bisa memenuhi makan tiga kali dalam sehari.
Namun dari sisi pengusaha, isu ketenagakerjaan justru dinilai sebagai satu masalah yang paling memberatkan. Contohnya, jumlah pesangon tergolong sangat membebani dalam kasus terjadi PHK. Perusahaan juga rentan terhadap perlawanan dari para serikat buruh.

Menurut pengusaha Anton Supit, persoalan peraturan dan pesangon di Indonesia merupakan hal paling buruk di dunia. Bahkan menurut Anton, masalah tersebut telah membuat investor menghindari Indonesia.
Benarkah demikian? Menurut hasil survei Bank Dunia, Indonesia ternyata memang tergolong paling besar masalahnya dibandingkan negara lain dalam soal pesangon. Dalm hal rigiditas atau kekakuan pasar ketenagakerjaan, Bank Dunia menempatkan Indonesia di urutan yang tergolong paling kaku.

Jika demikian halnya, maka perubahan, atau revisi ketenagakerjaan seharusnya menjadi hal urgen untuk segera ditangani. Namun sebaiknya para pemikir atau pemerintah harus arif soal ketenagakerjaan. Walau isu ketenagakerjaan merupakan salah satu persoalan, namun dalam komparasi internasional, jarang sekali isu ketenagakerjaan menjadi sorotan utama.

Setiap tahun World Economic Forum (WEF) menurunkan peringkat daya saing berbagai negara. Peringkat Indonesia dari tahun ke tahun sejak era reformasi mengalami penurunan. Namun persoalan utama yang menjadi alasan penurunan peringkat itu adalah iklim investasi, masalah birokrasi, keadaan prasarana yang buruk. Setiap kali mendirikan usaha baru, banyak tingkatan pelayanan yang harus disuap.

Walau Indonesia menghadapi masalah soal isu ketenagakerjaan, namun isu ini tidak lebih parah ketimbang masalah lain yang justru mungkin terburuk. Perlu bijak melihat, persoalan mana yang paling urgen ditangani.
dari : caninews.com

Sumber Pertumbuhan Ekonomi Makin Terbatas


Tanpa kita sadari, sebenarnya telah banyak potensi pertumbuhan yang hilang dari Negara ini. Secara nyata, hal itu sudah dirasakan dengan semakin berkurangnya sumber pendapatan.

Mau contoh? Pemerintah terpaksa menaikkan harga minyak dengan mencabut subsidi di saat rakyat justru tidak siap.

Mau contoh lagi? PLN terpaksa melakukan pemadaman bergilir karena ketiadaan dana untuk bahan bakar, meski ada alasan mendesak bahwa Indonesia sedang kekeringan, yang membuat kapasitas pembangkit listrik tenaga air makin berkurang.

Contoh lain lagi adalah penjualan otomotif yang menurun 50 persen pada semester pertama 2006 dibandingkan periode yang sama 2005.

Sebenarnya, hal itu merupakan turunan dari makin sempitnya sumber pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini sudah diketahui umum, setidaknya pemerintah. Namun belum ada terlihat tindakan nyata untuk membalikkan keadaan.

Struktur permintaan di Indonesia, jika dilihat dari segi persentasenya terhadap produksi domestik bruto (PDB), juga tidak sehat dibandingkan dengan tetangga kita di Asia (lihat tabel).

Persentase pembentukan modal seharusnya lebih besar dari konsumsi. Hal itu berbeda dengan China dan India yang memperlihatkan porsi konsumsi swasta lebih kecil dibandingkan dengan porsi investasi.

Dr Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, pernah mengatakan bahwa pertumbuhan PDB yang didukung konsumsi, bukanlah sebuah PDB yang sustainable.

Konsumsi bersifat menghabiskan. Sebaliknya, investasi justru bersifat menghasilkan.
Lebih bahaya lagi, jika konsumsi itu bukan didukung pendapatan nyata, akan tetapi pinjaman dari bank dalam bentuk kredit konsumsi.
Hal inilah juga yang selalu menjadi kecemasan Dr Faisal Basri. Dia selalu menggerutu agar Indonesia membalikkan keadaan dengan mendorong investasi.

Jika berbicara soal investasi, persoalan kembali ke awal lagi, yakni iklim investasi, keberadaan infrastruktur, faktor birokrasi, unsur keamanan. Ini semua sudah diketahui. Namun lagi-lagi, belum ada upaya nyata untuk mewujudkan hal itu.

Dampaknya di masa datang, bukan hanya semakin banyak eksodus warga yang mencari penghidupan di luar negeri. Kekhawatiran utama, RI tidak bisa mengatasi kemiskinan di dalam negeri, yang justru semakin menambah runyam persoalan di masa datang di Negara ini.

Struktur Permintaan, Persentase Terhadap PDB pada harga Berlaku

2001

2002

2003

2004

Konsumsi swasta

57.7

59.9

55.8

58.9

Konsumsi pemerintahan

9.4

8.5

8.7

8.8

Pembentukan modal bruto domestik

31.4

28.8

32.6

30.7

Ekspor barang dan jasa

23.9

23.8

24.3

25.3

Impor barang dan jasa

22.4

21.1

21.4

23.7

Sumber: Asian Development Bank, 2005

dari : caninews.com