Istilah itu kembali mencuat karena diangkat oleh Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hamzah Haz pada peringatan 33 tahun kelahiran PPP di Jakarta, Minggu (5/2).
Hamzah Haz mengatakan, ada kesan pemberantasan korupsi yang terjadi sekarang ini melulu lebih mengarah pada pejabat pemerintahan daerah, anggota legislatif.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono membantah hal itu. Menurut Presiden SBY, program pemberantasan korupsi sudah berlangsung sejak 2003 dan sama sekali tidak melakukan pemberantasan korupsi yang tebang pilih.
Lalu, sejumlah pejabat, anggota legislatif kini sudah ada di rumah tahanan. Sebagian besar telah menginap di Markas Besar Kepolisian RI. Mereka didakwa atas tuduhan manipulasi, penggelapan dan korupsi serta segala macam yang terkait.
Apresiasi nampaknya perlu diberikan kepada pemerintahan sekarang, yang tergolong paling terlihat dalam aksinya memberantas korupsi, sejak kejatuhan mantan Presiden Suharto.
Namun kesan tebang pilih yang dicuatkan oleh Hamzah Haz tidak terhindarkan. Barangkali pemerintah punya argumentasi yang mengatakan bahwa tidak ada sistem tebang pilih. Namun demikian, sebenarnya layak dipertanyakan, apa kriteria dan metode pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah.
Menangkap yang lebih lemah? Menangkap koruptor kelas teri? Atau menangkap koruptor kelas kakap, atau apa?
Jangan pernah kita lupakan, bahwa Bank Indonesia pernah meluncurkan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di masa krisis ekonomi pada akhir decade 1990-an. Setidaknya, ada 660 triliun dana BLBI yang dikucurkan untuk menalangi simpanan nasabah yang tidak terbayarkan oleh bank tempat mereka menyimpan.
Lalu kepada pemilik bank itu, diminta menyerahkan jaminan berupa asset-aset yang mereka miliki. Maklum, di zaman itu, banyak bank yang menarik dana nasabah, lalu dikucurkan ke perusahaaan milik sendiri. Lalu ketika terjadi rush, perbankan itu tidak bisa membayari kembali dana nasabah.
Ada Grup Salim dengan BCA-nya, ada Grup Sinar Mas dengan BII-nya dan ada kelompok lainnya yang jumlahnya cukup banyak.
Perusahaan itu berada di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang bertugas menyehatkan perbankan. Tugasnya juga adalah mengelola sembari menjual asset-aset yang diserahkan ke negara via BPPN, untuk menalangi BLBI yang diterima bank.
Namun apa yang terjadi? Dana-dana BLBI yang berhasil ditarik kembali oleh BPPN hanya sekitar 10 persen, yang disebut sebagai recovery asset. Lalu kemana yang 90 persen lainnya?
Ironisnya lagi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah meluncurkan penelitian soal BLBI yang memperlihatkan ada penyalahgunaan dan penyelewengan BLBI. Ada dana yang masuk ke kantong pemilik bank, dan bukan ke nasabah.
Kemudian ironisnya lagi, ada di antara mereka yang berhasil lari dan tinggal ke luar negeri. Atau juga ada yang tetap bisa tinggal tenang di dalam negeri. Keuangan Negara yang cekak, kini membuat banyak subsidi terpaksa dicabut, seperti subsidi BBM dan sebentar lagi mungkin pencabutan subsidi tariff dasar listrik (TDL).
Muncul pertanyaan, soal asas keadilan?
Ratusan triliun dana yang mereka tilep, bukan uang sedikit bagi negara dan rakyat yang telah turut menderita.
Jika kita melihat para tersangka koruptor yang ada sekarang ini, paling-paling mereka hanyalah kategori kelas kakap yang menggelapkan dana di bawah angka trilunan. Bahkan ada yang Cuma menggelapkan dana puluhan miliar.
Lalu, salahkah jika ada anggapan soal tebang pilih itu. Rasanya tidak salah, walau mungkin juga tidak 100 persen benar.
dari : caninews.com